Korupsi Makin Mengkhawatirkan
KorupsiWatch - Praktik korupsi di Indonesia sudah mencapai tingkat keparahan yang tinggi.
Menurut anggota Badan Kehormatan (BK) DPR Siswono Yudo Husodo, tingkat keparahan itu mirip dengan kondisi sakit kanker yang sudah mencapai stadium empat.
‘’Saya masuk bisnis sejak 1966. Jadi, mengikuti perkembangan korupsi dari dekat,” kata Siswono dalam diskusi”Mengulas Dugaan Mengakarnya Budaya Kolusi di Lembaga Tinggi Negara”di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Ahad (27/1).
Siswono menceritakan bahwa praktik pencurian uang negara ada sejak dulu. Namun, caranya masih sangat sederhana kala itu. ‘’Harga barang Rp100 dibilang Rp110. Tapi, itu sudah hebat,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Siswono, penggelembungan anggaran (mark-up) proyek bisa meningkat lebih besar daripada nilai proyeknya. Bahkan sampai dua kali lipat.
Dari sisi proses, dulu korupsi juga terjadi di ujung atau saat pelaksanaan proyek sehingga lebih banyak melibatkan eksekutif. Sekarang korupsi tidak sekadar diatur sejak perencanaan, melainkan sejak perumusan ide dasar suatu proyek.
‘’Kasus Hambalang, misalnya. Sudah didesain siapa yang jadi pemenangnya,” sentil politikus Partai Golkar itu.
Siswono menambahkan, DPR memiliki kewenangan yang sangat besar. Pemilihan duta besar, hakim agung, ketua KPK, Kapolri, sampai deputi gubernur senior Bank Indonesia (DGS BI) melibatkan DPR. Padahal, fraksi-fraksi di DPR merupakan perpanjangan tangan kepentingan parpol.
Di luar itu, parpol berhak mengajukan Capres-cawapres dan kepala daerah. ‘’Kita menyaksikan semua proses ini berjalan secara transaksional,” papar dia.
Siswono mengingatkan, informasi yang bisa diberikan berbagai pengambil kebijakan itu saja sangat bernilai tinggi. Contohnya, informasi dari BI mengenai peredaran uang dolar.
Sebab, kalau di Jakarta terjadi transaksi atau didrop 1 miliar dolar AS, nilai rupiah pasti turun. ‘’BI kasih informasi itu saja (ke orang-orang tertentu) sudah luar biasa,” papar dia.
Dia juga mencontohkan bahwa efek keuntungan dari permainan valuta asing (valas) bisa mencapai Rp1 triliun. Sedangkan untuk kasus suap cek pelawat dalam pemilihan DGS BI Miranda Goeltom pada 2004, setoran kepada setiap anggota DPR Rp500 juta-Rp 1,5 miliar. Tak kurang dari 26 anggota DPR dinyatakan bersalah oleh pengadilan tipikor.
‘’Semuanya sekitar Rp25 miliar. Tapi, dengan satu kali transaksi (valas) saja sudah tertutup habis. Padahal, setahun penuh, terus terjadi naik-turun (nilai tukar rupiah) dan jual-beli. Kadang saya agak curiga juga, magnitude-nya begitu pendek,” terang Siswono.
Koordinator ICW Danang Widoyoko membenarkan bahwa korupsi sekarang memang dirancang sejak perencanaan. Dia mencontohkan, dalam kasus Nazaruddin, terbukti suatu proyek memang didesain untuk dikorupsi beramai-ramai.
Begitu juga proyek dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang telah menyeret legislator PAN Wa Ode Nurhayati. Dalam proyek itu sudah ditetapkan daerah yang akan mendapat suntikan dana.
“Jadi, kalau mau menyuap, sudah kalah setting duluan. Hasil korupsinya juga luar biasa,” sindir Danang.
Menurut Danang, itu terjadi karena bagi sebagian politisi, uang begitu penting dalam politik. Padahal, esensi politik adalah mengakumulasi modal sosial. Tapi, esensi itu tidak muncul. Semangat yang berkembang justru mengakumulasi modal finansial sebanyak-banyaknya.
“Seperti kasus Nazaruddin itu, modal finansial yang cukup besar menjadi modal untuk bisa dekat dengan Anas (Urbaningrum, Ketum Partai Demokrat) dan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono, Sekjen Partai Demokrat),” sentilnya.
Untuk mengatasinya, ICW terus-menerus mendorong transparansi keuangan parpol. Selain itu, ICW mendorong pembatasan dana kampanye politik.(boy/izl/jpnn)
Menurut anggota Badan Kehormatan (BK) DPR Siswono Yudo Husodo, tingkat keparahan itu mirip dengan kondisi sakit kanker yang sudah mencapai stadium empat.
‘’Saya masuk bisnis sejak 1966. Jadi, mengikuti perkembangan korupsi dari dekat,” kata Siswono dalam diskusi”Mengulas Dugaan Mengakarnya Budaya Kolusi di Lembaga Tinggi Negara”di Warung Daun, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Ahad (27/1).
Siswono menceritakan bahwa praktik pencurian uang negara ada sejak dulu. Namun, caranya masih sangat sederhana kala itu. ‘’Harga barang Rp100 dibilang Rp110. Tapi, itu sudah hebat,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Siswono, penggelembungan anggaran (mark-up) proyek bisa meningkat lebih besar daripada nilai proyeknya. Bahkan sampai dua kali lipat.
Dari sisi proses, dulu korupsi juga terjadi di ujung atau saat pelaksanaan proyek sehingga lebih banyak melibatkan eksekutif. Sekarang korupsi tidak sekadar diatur sejak perencanaan, melainkan sejak perumusan ide dasar suatu proyek.
‘’Kasus Hambalang, misalnya. Sudah didesain siapa yang jadi pemenangnya,” sentil politikus Partai Golkar itu.
Siswono menambahkan, DPR memiliki kewenangan yang sangat besar. Pemilihan duta besar, hakim agung, ketua KPK, Kapolri, sampai deputi gubernur senior Bank Indonesia (DGS BI) melibatkan DPR. Padahal, fraksi-fraksi di DPR merupakan perpanjangan tangan kepentingan parpol.
Di luar itu, parpol berhak mengajukan Capres-cawapres dan kepala daerah. ‘’Kita menyaksikan semua proses ini berjalan secara transaksional,” papar dia.
Siswono mengingatkan, informasi yang bisa diberikan berbagai pengambil kebijakan itu saja sangat bernilai tinggi. Contohnya, informasi dari BI mengenai peredaran uang dolar.
Sebab, kalau di Jakarta terjadi transaksi atau didrop 1 miliar dolar AS, nilai rupiah pasti turun. ‘’BI kasih informasi itu saja (ke orang-orang tertentu) sudah luar biasa,” papar dia.
Dia juga mencontohkan bahwa efek keuntungan dari permainan valuta asing (valas) bisa mencapai Rp1 triliun. Sedangkan untuk kasus suap cek pelawat dalam pemilihan DGS BI Miranda Goeltom pada 2004, setoran kepada setiap anggota DPR Rp500 juta-Rp 1,5 miliar. Tak kurang dari 26 anggota DPR dinyatakan bersalah oleh pengadilan tipikor.
‘’Semuanya sekitar Rp25 miliar. Tapi, dengan satu kali transaksi (valas) saja sudah tertutup habis. Padahal, setahun penuh, terus terjadi naik-turun (nilai tukar rupiah) dan jual-beli. Kadang saya agak curiga juga, magnitude-nya begitu pendek,” terang Siswono.
Koordinator ICW Danang Widoyoko membenarkan bahwa korupsi sekarang memang dirancang sejak perencanaan. Dia mencontohkan, dalam kasus Nazaruddin, terbukti suatu proyek memang didesain untuk dikorupsi beramai-ramai.
Begitu juga proyek dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) yang telah menyeret legislator PAN Wa Ode Nurhayati. Dalam proyek itu sudah ditetapkan daerah yang akan mendapat suntikan dana.
“Jadi, kalau mau menyuap, sudah kalah setting duluan. Hasil korupsinya juga luar biasa,” sindir Danang.
Menurut Danang, itu terjadi karena bagi sebagian politisi, uang begitu penting dalam politik. Padahal, esensi politik adalah mengakumulasi modal sosial. Tapi, esensi itu tidak muncul. Semangat yang berkembang justru mengakumulasi modal finansial sebanyak-banyaknya.
“Seperti kasus Nazaruddin itu, modal finansial yang cukup besar menjadi modal untuk bisa dekat dengan Anas (Urbaningrum, Ketum Partai Demokrat) dan Ibas (Edhie Baskoro Yudhoyono, Sekjen Partai Demokrat),” sentilnya.
Untuk mengatasinya, ICW terus-menerus mendorong transparansi keuangan parpol. Selain itu, ICW mendorong pembatasan dana kampanye politik.(boy/izl/jpnn)
0 comments
Write Down Your Responses